Tuesday, April 22, 2008

Mencari Solusi Sulitnya Membangun Tower

"Warga Tolak Pembangunan Tower Telkomsel di GPI" (Pikiran Rakyat, 16/6/2005), "Tolak Tower, Warga Mengaku Diintimidasi" (Suara Merdeka, 29/3/2005), begitu kira-kira judul berita-berita di media massa belakangan yang mewakili sikap masyarakat sehubungan dengan maraknya pembangunan menara telekomunikasi sebagai sarana penunjang base transceiver station (BTS).
Dengan makin banyaknya operator serta makin diperluasnya jaringan, penolakan tidak hanya terjadi di Cimahi maupun Gajah Mungkur saja, seperti dituliskan dalam pemberitaan tersebut. Hampir semua operator pernah mengalami kasus serupa, dan di berbagai daerah. Ada yang bisa diselesaikan, namun ada juga yang harus membatalkan pendirian tower dan pindah ke lokasi lain atau menumpang pada menara telekomunikasi milik operator lain yang sudah ada di sekitar lokasi.
Kondisi tersebut, jika "mewabah" akan menjadi preseden buruk bagi pengembangan jaringan telekomunikasi, khususnya yang menggunakan menara telekomunikasi, di Indonesia. Solusi utamanya adalah jelas memberikan pengertian yang benar kepada lingkungan masyarakat dimana tower akan dibangun, termasuk mengenai radiasi serta kekuatan pondasi dan struktur tower.
Tanpa sosialisasi yang benar kepada masyarakat setempat, maka mitos yang tetap hadir adalah hadirnya tower di lingkungan mereka cukup berbahaya bagi kesehatan karena mengandung radiasi dan sewaktu-waktu bisa roboh. Padahal, hingga saat ini belum ada bukti secara ilmiah yang menyimpulkan bahwa ada gangguan kesehatan yang disebabkan keberadaan tower. Sedangkan mengenai kekuatan tower, karena yang dipertaruhkan operator di BTS bukanlah investasi yang sedikit, maka pondasi dan kekuatan struktur tower telah melalui perhitungan engineering yang matang tentunya.
BTS TerpaduSelain persoalan penolakan warga, hal lain yang menjadi kendala dalam pembangunan menara telekomunikasi adalah masalah penataan kota. Bayangkan saja, dengan sekitar delapan operator telekomunikasi yang sekarang ini giat membangun jaringan, maka yang terjadi adalah hadirnya tower bak cendawan di musim hujan. Bukan hanya di kota besar seperti Jakarta, namun juga hingga ke daerah-daerah. Seperti keberadaan tower di kawasan Gombel, Semarang, yang dinilai telah menjadikan wilayah itu sebagai "hutan tower".
Mengingat ke depannya untuk membangun menara telekomunikasi sebagai penunjang BTS, selain karena mitos berbahayanya keberadaan tower yang masih hadir dipikiran masyarakat juga karena dengan banyaknya operator akan benar-benar menjadikan kota dan desa-desa sebagai "hutan tower", langkah yang ditempuh Batam perlu menjadi bahan pertimbangan. Konsep penataan BTS oleh Otorita Batam itu disebut BTS Terpadu. Artinya, satu BTS dapat dimanfaatkan oleh beberapa operator.
Walaupun saat ini "baru" terbangun 200 BTS milik operator seluler dan operator fixed wireless, namun keberadaan BTS itu berdampak terhadap tatanan kota. Dengan hadirnya BTS Terpadu, maka hal itu mengurangi tingginya permintaan lahan untuk pembangunan menara, serta demi menjaga keindahan dan estetika kota.
Langkah Batam, nampaknya akan diikuti oleh Bali, terutama Kabupaten Badung yang berniat untuk juga mengadopsi konsep BTS Terpadu. Saat ini di Badung terdapat 89 BTS. Dengan konsep BTS Terpadu, hal itu bisa ditekan hingga 45 lokasi saja. Saat ini, Pemkab Badung tengah melakukan studi penataan jaringan telekomunikasi di sana bersama Universitas Udayana, Bali. Hasil studi nantinya akan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Daerah.
Jika semua daerah menerapkan aturan serupa, menggunakan BTS Terpadu, maka selain tercipta penataan kota yang baik, biaya yang perlu dikeluarkan operator juga akan berkurang secara signifikan. Sebab untuk membangun satu lokasi tower, di luar perangkat BTS-nya itu sendiri, sedikitnya diperlukan dana Rp. 1 miliar sejak dari proses site acqusition hingga pendirian tower dan membangun shelter.
MVNOKonsep BTS Terpadu atau sharing infrastruktur dapat pula disebut mobile virtual network operator (MVNO), saat ini memang juga menjadi usulan pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi. Bahkan bukan hanya itu, konsep MVNO saat ini ditengarai menuai sukses di banyak negara. Apalagi, MVNO kemudian berkembang dan memudahkan pihak-pihak yang tidak mempunyai infrastruktur, bahkan lisensi, dapat menjadi operator layanan telekomunikasi. Sehingga, disebut-sebut bahwa MVNO adalah operator telekomunikasi masa depan.
MVNO merupakan paradigma baru dalam berbisnis telekmunikasi. Hal itu karena MVNO menawarkan pendapatan dan keuntungan yang kompetitif dalam waktu pendek. Apalagi dengan meningkatnya kompetisi global di sektor telekomunikasi. Hal itu memungkinkan mudah masuknya pendatang baru (new entrant) dalam bisnis telekomunikasi untuk berkompetisi dengan operator lama (incumbent). Kemudahan itu terjadi karena bermitra dengan MVNO, maka biaya investasi jaringan yang cukup besar di awal-awal penetrasi pasar bisa ditekan.
Hanya saja, kesuksesan MVNO di banyak negara, seperti Inggris dan Swedia, tidak serta merta dapat meraih kesuksesan serupa di sini mengingat kondisi Indonesia yang agak berbeda. Terutama sekali mengenai adanya lisensi modern, dimana operator yang mendapat lisensi bisnis telekomunikasi, baik telepon tetap maupun bergerak, mendapat kewajiban untuk membangun jaringan dengan target tertentu tiap tahunnya. Ini artinya, operator harus membangun jaringan dan tidak bisa memanfaatkan MVNO. Entah jika kemudian pemerintah dan regulator mengubah aturan tersebut.
Jika yang menjadi concern adalah juga masalah teledensitas, maka lagi-lagi tetap dikhawatirkan MVNO tidak dapat membantu mengatasi persoalan teledensitas telepon tanah air kita yang rendah dan tidak merata. Ini disebabkan karena MVNO akan menjadi "backbone" (tulang punggung) pengembangan jaringan sehingga dapat dikatakan berinvestasi lebih banyak, maka yang dipilihnya adalah daerah-daerah yang "gemuk" saja.
Sehingga yang terjadi, konsep BTS Terpadu atau sharing infrastruktur tersebut hanyalah dijadikan sebagai proyek baru saja, yang di sisi lain dapat merugikan operator yang telah membangun jaringan namun kemudian harus dibongkar untuk ikut dalam MVNO. Hal itu perlu juga menjadi perhatian agar antara operator, masyarakat dan pemerintah daerah yang tercapai adalah win-wn solution, dan bukan sebaliknya, saling merugikan satu sama lain.
Heru Sutadi

No comments: